Antara Cinta dan
Sahabat
Disebuah gang perumahan yang sepi aku berjalan. Tak ada satu
orang pun yang nampak disana, yang ada hanya aku ditemani suara jangkrik yang
saling bersautan. Jalan itu nampak gelap, karena hanya ada beberapa lampu kecil
yang meneranginya. Untung saja rembulan yang sedang bersinar terang bersedia
menemani langkahku.
Tak lama kemudian para tetanggaku satu per
satu keluar. Mereka bersiap untuk menghadiri syawalan yang diadakan oleh warga
RT 19. Gang disebelah rumahku sekarang menjadi ramai oleh canda tawa
orang-orang yang akan berbagi kata maaf.
Acara dimulai jam 8, namun aku, ayah, dan ibu
berangkat lebih awal. Kami menyusuri jalan di perumahan dengan berjalan kaki.
Jarak dari rumah ke balai RT memang dekat, hanya 50M ke utara.
Di jalan kami bertemu dengan Pak Sukirno.
“Sugeng ndalu pak.” Sapa Pak Sukirno pada
Ayah.
“Sugeng ndalu, monggo sareng-sareng,” jawab
Ayah. Kamipun berangkat bersama.
Aku melewati salah satu rumah yang didepannya
telah berdiri seseorang yang sangat aku kenal. Dia adalah teman masa kecilku
dan juga kakak kelasku sewaktu SD, namanya Awan.
Sudah lama aku tidak bertemu dengan Awan. Dia
pindah ke Jakarta setelah lulus SD dan melanjutkan sekolah disana. Aku sangat
senang ketika melihat Awan telah kembali ke Jogja. Namun saat bertemu denganku
Awan seperti tak mengenalku. Awan hanya diam sambil menatapku.
“Apa Awan sudah lupa padaku?” tanyaku dalam
hati.
Sesampainya di Balai RT, ternyata sudah banyak
orang disana. Aku bersalaman dengan para tetangga sambil mencari tempat duduk
yang masih kosong. Saat kami sudah mendapat tempat duduk, dua orang pemuda
mengantarkan minuman dan snack ke tempat dudukku.
Mengapa Awan tak kunjung datang? Bahkan sampai
acara dimulai Awan masih belum datang. Aku mengikuti acara demi acara dengan
khidmat walaupun fikiranku melayang kemana-mana. Handphone disaku celanaku
bergetar, pertanda bahwa ada sebuah pesan yang masuk. Aku tidak tahu siapa
pengirim pesan tersebut, karena tidak tertera nama si pengirim hanya ada
deretan angka.
Dian
maaf lahir batin ya. Maaf tadi belum sempat bersalaman soalnya aku buru-buru
mau ke Magelang.
“Mungkinkah Awan yang mengirim pesan ini? Dari
mana dia mendapatkan nomorku?” aku mencoba menebak.
Untuk memastikannya aku membalas pesan
tersebut
Iya sama-sama, maaf ini dari siapa ya?
Aku tak sabar menunggu balasan dari si
misterius. Tak lama kemudian hanphoneku kembali bergetar. Aku membuka pesan
tersebut dan membacanya.
Dian
aku Awan. Kamu masih inget sama aku kan? Dulu kita sering bermain bersama :D.
Aku rindu kamu.
Ternyata dugaanku
benar, Awanlah yang mengirimkan pesan padaku. Aku sangat senangAwan masih
mengingatku, dia tidak melupakanku. Akupun membalas pesan Awan.
Tentu
saja aku masih ingat. Dulu kita sering bermain bersama. Aku juga rindu padamu,
sudah lama kita tidak bertemu. Akmu dapat nomorku dari siapa?
SMS-an itu terus berlanjut. Aku mengajak Awan
untuk berkeliling dan jalan-jalan ke esokan harinya. Tidak hanya kami berdua,
aku juga mengajak Risa dan Adis. Awan bercerita banyak tentang pengalamannya.
Aku juga bercerita tentang pengalamanku kepada Awan.
“Gimana sekolahmu?” tanya Awan.
“Baik, aku dapet banyak teman baru di SMP.
Kamu sendiri gimana? Oh ya, kapan pindah ke Jogja?”
“Baik, aku pindah ke Jogja udah delapan bulan
yang lalu, sekarang aku udah sekolah di SMA Negeri disini.” Jawab Awan.
“Lho, udah lama to? Tapi kok aku enggak pernah
liat kamu ya. Padahal rumah kita kan deket.”
“Hah masa sih kamu gak pernah ngeliat aku? Oh
mungkin karena aku sering lewat jalan sebelah utara dibanding lewat jalan depan
rumahmu.”
“Mungkin juga.”
Tiba-tiba Risa dan Adis menghampiri kami
dengan sedikit rasa kesal. Mereka kesal karena kami asyik mengobrol sendiri.
Kami sampai lupa dengan Risa dan Adis.
“Bagus ya kalian asyik ngobrol berdua,
sampai-sampai aku dan Adis dijadikan obat nyamuk.” Risa mengomel padaku dan
Awan.
“Iya nih, tuh nyamuk-nyamuknya sampe pada mati
gara-gara ada dua obat nyamuk disini.” Tambah Adis.
“Iya maaf, aku kan sudah lama tidak bertemu
dengan Awan.” Aku mencoba meminta maaf.
“Maaf Risa, Adis. Kami tidak bermaksud untuk
nyuekin kalian.” Awan mencoba membantuku.
“Iya kami juga memahami kok, tadi kami Cuma
becanda kali.” Tukas Adis.
Aku dan Awan merasa lega mendengar perkataan
Adis barusan. Risa dan Adis lalu bergabung dengan kami, kami berempat mengobrol
dan bercerita banyak tentang pengalaman masing-masing. Sekedar untuk melepas
rindu.
Sejak saat itu aku dan Awan menjadi lebih
dekat karena kami sering berkirim SMS. Rasa itu mulai tumbuh, jantung ini
berdegup kencang saat aku menerima pesan darinya. Apa yang terjadi padaku? Apa
aku terkena penyakit jantung?
Hari Sabtu telah tiba, hari terakhir aku
selesai Ulangan Tengah Semester. Kebetulan aku sekarang duduk dikelas IX SMP.
Aku belajar sungguh-sungguh agar nilaiku bagus, karena nilai UTS berpengaruh
terhadap nilai kelulusanku. Jadi selama UTS berlangsung aku sengaja untuk tidak
menghubungi Awan.
Saat pulanng sekolah tiba-tiba Handphoneku
bergetar. Ternyata pesan dari Awan. Jantungku kembali berdebar. Aku mulai
membaca pesan tersebut.
*Hei Dian, gimana UTSnya?
Lancarkan?
Aku membalasnya dengan jantung yang serasa mau
copot dari tempatnya.
*Hei juga, lancar dong... :>
*Dian kenapa setiap kamu SMS jantungku
berdebar ya?
Aku merasa terkejut membaca pesan tersebut.
Ternyata Awan merasakan hal yang sama seperti apa yang aku rasakan.
*Benarkah? Mungkin aja kamu lagi
sakit, atau ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu.
Aku mencoba berbasa-basi, aku tidak mau Geer
dulu sampai akhirnya Awan membalas pesan dariku.
*Memang kamu benar, ada yang
mengganggu pikiranku. Kamulah yang selalu mengganggu pikiranku. Kamu selalu ada
dalam pikiranku. Tanpa aku sadari aku udah jatuh cinta sama kamu, maukah kau
menerimaku menjadi kekasihmu? J
Hah? Aku hanya bisa diam membaca pesan
tersebut. Apakah ini mimpi? Tapi jelas-jelas ini bukan mimpi. Aku tak percaya
Awan menyatakan perasaannya padaku. Senang, kaget, dan bingung berkecamuk dalam
hatiku. Rasanya campur aduk tidak karuan. Ibarat jagung bakar rasa nano-nano.
*Kamu beneran?
*Iya, aku serius Dian.
*Tapi aku tidak bisa menjawab sekarang, aku
butuh waktu untuk berfikir.
*Okey, aku kasih kamu waktu.
Butuh waktu dua hari untukku berfikir. Aku
sengaja menjawabnya saat Awan sudah selesai UTS. Ya, Awan sekarang sudah duduk
di kelas X SMA, dan dia baru akan menjalani UTS. Aku tidak mau mengganggu
konsentrasinya dengan jawabanku.
Hari yang ditunggupun tiba, aku harus menjawab
pertanyaan Awan. Sebenarnya berat untukku menyampaikan jawabanku.
“Dian bagaimana jawbanmu?’
“Emm, maaf Wan aku tidak bisa, aku sudah kelas
sembilan. Aku harus fokus ke ujianku dulu.”
Raut Wajah Awan seketika berubah.
“Apa tidak ada kesempatan bagiku? Aku janji
tidak mengganggu kamu dalam belajar.”
“Maaf Wan aku tetap tidak bisa.”
“Okey kalau begitu aku akan tunggu sampai kau
selesai Ujian dan lulus dengan nilai yang baik.”
Sejak saat itu aku dan Awan mulai jauh. Awan
mengenal salah seorang sahabatku di SMP. Tak kusangka Awan mulai menyukainya.
Sebuah penyesalan mulai Timbul. Awan menyatakan perasaannya pada sahabatku,
padahal mereka belum pernah bertemu secara langsung. Mereka hanya berkomunikasi
lewat SMS.
Ujian Nasional tiba, aku melewatinya dengan
kondisi kurang sehat. Satu hari sebelum ujian aku terkena demam. Alhasil aku
tidak fokus mengerjakan soal-soal ujian. Aku mendapatkan NEM tidak sesuai
target, namun aku bersyukur. Karena rata-rata nilaiku masih diatas delapan.
Hubunganku dengan Awan sudah membaik. Aku
menganggapnya sebagai sahabat dan seorang kakak. Aku menganggapnya sebagai
kakak pengganti kakakku yang sudah lama meninggal. Aku memang ingin mempunyai
seorang kakak laki-laki yang bisa melindungiku, mengerti keluh kesahku dan
menampung curahan hatiku saat aku senang ataupun susah, namun rasa itu belum
hilang.
Kini aku tak lagi memakai seragam putih biru,
sekarang aku memakai putih abu-abu. Aku dan Awan semakin dekat, bahkan aku
mempunyai seorang kakak lagi, namanya Gusti. Aku mengenal Gusti dari Awan.
Aku merasa Gusti lebih baik dari Awan. Gusti
selalu memperhatikan dan mengingat apapun yang aku katakan. Tidak seperti Awan,
dia tidak pernah memperhatikan apa yang kuucapkan, bahkan dia lupa denan janji
yang dia ucapkan padaku.
Aku selalu mencoba untuk menjauhinya, namun
aku tak sanggup. Setiap aku mencoba menghilangkan rasa istimewaku padanya, dia
selalu saja muncul secara tiba-tiba. Apa boleh buat, mungkin ini yang terbaik.
Aku memiliki dua orang kakak laki-laki seperti apa yang aku inginkan, dan
persahabatanku dengan Awan tidak hancur. Karena aku menganggap bahwa
persahabatan itu lebih abadi daripada cinta. Dan sahabat itu lebih berarti dari
apapun.
Gusti dan Awan memang sahabatku yang baik.
Mereka ada disaat aku senang maupun susah. Mereka selalu menampuing ceritaku
walaupun aku sering berlebihan sampai membuat mereka kesal.
Terima kasih karena kalian telah mengembalikan
senyumku yang telah lama pudar. Karena kalian mau menjadi kakak, sekaligus
sahabat untukku.
Waktu terus berlalu, persahabatanku dengan
Awan dan Gusti pun terus berjalan. Aku lebih banyak melewati hari-hari bersama
Awan, karena aku dan Awan memang bertetangga. Sedangkan Gusti, jarak rumahnya
jauh dari rumahku dan Awan. Awan membuat hari-hariku semakin berwarna. Dia juga
selalu membuatku tersenyum bahagia. Rasa istimewaku para Awan yang sudah lama
terkubur, kini tumbuh kembali.
Suatu hari awan menemukan buku catatanku, di
dalam buku itu ada nama seseorang yang aku sukai. Tanpa aku ketahui dia membaca
nama itu.
“Dek, kakak boleh tanya sesuatu?” tanya Awan
padaku.
“Iya kak, tanya aja” Sahutku dengan nada santai.
“Tapi kamu jawab jujur ya?” pertegas Awan
terhadapku.
“Iya kakak.”
“Siapa orang yang kamu sukai sekarang?”
“kamu udah tau jawabannya kak.”
“Apa orang itu dekat denganmu?”
“Iya kak.”
“Orang itu aku kan?”
“Kakak Yakin dengan jawaban kakak?”
“Iya, aku yakin dek. Sebenarnya aku juga masih
sayang sama kau dek. Waktu kamu kasih aku kado ulang tahun, aku udah mulai
yakin kalau kamu juga sayang sama aku. Dari cara kamu marah waktu cerita ke
kamu tentang cewek lain, aku tahu kamu cemburu.”
“Maksudnya?”
“Alah, belagak gak tau. Aku sayang sama kamu
dek, kamu mau jadi kekasih aku?”
“Tapi bagaimana dengan persahabatn kita kak?”
“Bukannya kita bisa lebih dekat nanti.”
“Iya sih, tapi aku butuh waktu buat mikir.”
“Oke, aku tunggu sampai kamu siap jawab.”
“Oke, aku tunggu sampai kamu siap jawab.”
Hari yang ditunggu Awan tiba. Aku akan
menjawab pertanyaan Awan. Kami berdua bertemu di Cakrok dekat Gereja.
“Jadi gimana jawbanmu dek?”
“Emm.. iya kak aku terima kakak, kakak tahu
kenapa aku mau terima kakak jadi pacar kakak?”
“Enggak dek, emang kenapa?”
“Karena kakak selalu ada buat aku, kakak
selalu buat aku tersenyum.”
“Makasih ya dek. Aku sayang sama kamu dek.”
Sejak saat itu aku dan Awan menjalani setiap
kegiatan berdua. Awan sangat perhatian padaku. Akupun juga sangat menyayanginya
melebihi diriku sendiri. Aku mencintai Awan sekarang, besok dan seterusnya.
(Karya : Nia Verdiana)
(Karya : Nia Verdiana)